Novel
yang diterjemahkan dari judul asli berupa Al-Amir wa al-Darwis ini
berkisah tentang kehidupan seorang sufi kenamaan, Ibrahim ibn Adham. Dia
adalah seorang Raja yang memerintah dan berkuasa penuh atas Kerajaan
Tujuh Kota. Kehidupan istana yang mewah dan serba ada telah melenakannya
dari makna kehidupan yang hakiki. Hari-harinya dipenuhi dengan
pesta-pora dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Istana yang
ditinggalinya lebih ramai dan meriah pada malam hari dengan pesta-pesta
yang diadakannya. Sang Raja baru beranjak tidur menjelang pagi, dan
bangun saat matahari terbenam. Sampai-sampai ia hampir tak pernah
melihat matahari. Hingga pada suatu ketika, datanglah seorang Darwis
misterius. Si Darwis akhirnya mengubah kehidupannya seratus delapan
puluh derajat.
Buku ini mengajarkan kita
tentang hikmah perjalanan kepada Sang Pencipta, kesetiaan, serta
pemahaman yang holistik terhadap semua mahluk ciptaan Tuhan. Semua itu
dimulai ketika pada suatu malam Sang Raja mengadakan sebuah pesta
bersama para punggawa kerajaannya. Di tengah meriahnya pesta datanglah
seorang Darwis tua dengan pakaian yang lusuh bersama anjingnya. Dari
dialog yang dilakukan bersama si Darwis, timbullah kesadaran baru dalam
benak Sang Raja yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.
Sang
Raja misalnya, begitu terhenyak ketika Si Darwis mengatakan bahwa
meskipun dia bebas dan merdeka, namun sebenarnya dia adalah budak yang
terkekang. Di satu sisi, dia bebas melakukan apa saja yang diasukai.
Namun di sisi lain, hal ini membuatnya terbelenggu oleh nafsunya.
Dikatakan oleh Si Darwis, “Ketika Engkau merasa bebas dan merdeka dari
Tuhan, maka saat itu juga Kau tertawan oleh nafsumu,bahkan menjadi
hambanya. Jadilah hamba Tuhan, niscaya Engkau akan terbebas dari
belenggu-belenggu nafsumu.”
Sang Raja pun
kemudian sadar atas kesalahan-kesalahan yang telah dia lakukan selama
ini. Dia akhirnya keluar dari istana dan meninggalkan segala kenikmatan
duniawi yang ada di dalamnya. Bersama Si Darwis, Sang Raja menempuh
perjalanan sebagai seorang Darwis yang hidup dengan sangat sederhana.
Setelah dirasa cukup dalam mengantarkan Raja kepada jalan kehidupan yang
diridhai Tuhan, Si Darwis berpisah dengan Raja dan menghadiahkan anjing
kesayangannya kepada Raja. Anjing itulah yang akan menemani dan
menjaganya ke manapun dia pergi.
Hari demi
hari dilalui Darwis Ibrahim ibn Adham dengan kehidupan yang zuhud,
ibadah dengan sangat tekun,dan perenungan-perenungan akan hikmah
ketuhanan. Fase-fase dalam kehidupan para sufi tahap demi tahap juga
telah dilaluinya: khauf,Raja’, ridha, hub, syauq, hingga uns. Namun
demikian, dia belum juga mencapai puncak tertinggi dalam fase-fase itu,
yakni musyahadah, penyaksian terhadap Allah.
Suatu
ketika, Darwis ibn Adham bertafakkur dan merenung mengenai anjing yang
telah begitu setia menjaganya selama ini. Seringkali dia memberi makan
anjingnya itu, tapi sewaktu-waktu dia tidak mendapatkan sesuatu untuk
diberikan kepada hewan itu. Dengan segala kondisi yang ada itu si anjing
tetap setia mengikuti dan mematuhi perintahnya. Ini, renungnya, berbeda
dengan kondisi hati manusia yang selalu berubah dan berganti-ganti
antara cinta dan benci sesuai dengan pemberian yang mereka
terima.“Apakah hati anjing itu merupakan bagian dari mukjizat Allah?
Kita berada di hadapan seekor anjing yang berfitrah setia, dan kesetiaan itu tidak tergantung pada pemberian.” Demikian simpulnya.
Sesekali
dia membandingkan antara dirinya dan anjingnya. Si anjing memperoleh
makanan dari tangannya, dan dia selalu setia dan tidak pernah melanggar
perintahnya. Sementara dia telah memakan makanan dari anugerah Sang
Pencipta, namun terkadang masih melanggar aturan-aturan-Nya. Dalam
kondisi demikian, penghargaannya terhadap si anjing semakin besar, tak
memandang lagi bentuk fisik anjing itu. Terlepas dari bentuk fisiknya,
hewan itu menyimpan hikmah penciptaan yang sangat agung . Hikmah untuk
memahami tanda-tanda kebesaran Allah di balik setiap mahluk ciptaan-Nya,
dalam bentuk apapun.
Hewan itu menyimpan
perasaan yang dalam dan misterius, kecintaan yang terus-menerus tanpa
bergantung pada pemberian, kepatuhan yang tidak bersandar pada
pertanyaan tentang manfaat yang akan diperoleh, kejinakan yang
menghilangkan kesepian seorang manusia, dan penjagaan siang malam—hingga
membuat si anjing tidur dengan satu mata terpejam dan satu lagi
terjaga. Semua sifat dan perbuatan itu merasuk ke dalam jiwa si anjing,
lalu menjelma ke dalam bentuk fisiknya. Sampailah ia pada sebuah pengetahuan baru tentang hikmah di balik setiap ciptaan.
Kisah-kisah
yang mewarnai perjalanan spiritual Ibrahim ibn Adham di buku ini amat
beragam. Di antaranya kisah tentang pengabdian dan kesetiaan anjingnya,
pengorbanan yang dilakukan oleh pembantunya, pengkhianatan dan perebutan
kekuasaan politik oleh puteranya sendiri, serta wasiat-wasiat sufistik
daripara guru yang ditemui ibn Adham sepanjang perjalanan spiritualnya
itu. Ibrahim ibn Adham juga disebut-sebut sebagai quthb al-auliya’(poros
para wali) pada zamannya karena karamah-karamah yang diterimanya dari
Allah.
Di atas itu semua, pelajaran penting
yang bisa kita petik dari buku ini adalah, sebagai salik (orang yang
menempuh perjalanan menuju Allah) hendaknya seseorang melepaskan ego
pribadinya di hadapan kehendak-kehendak Allah. Tak selayaknya salik
mempunyai keinginan dan kehendak. Yang ada dan harus dipatuhi secara
mutlak adalah kehendak Allah semata. Di samping itu, ketetapan hati
untuk menempuh jalan menuju Allah hendaknya tetap dipegang teguh dalam
kondisi apapun. Sebab, halangan yang menghadang ketika seseorang
berjalan kepada-Nya, pada hakekatnya adalah cobaan yang menguji
komitmennya
IDENTITAS BUKU: Judul: Ibrahim ibn Adham:
Sang Pangeran Pengembara Tanpa Alas Kaki; Penulis: Ahmad Bahjat;
Penerbit: Zaman, Jakarta; Jumlah Halaman: 164.
No comments:
Post a Comment